Meradang & Menerjang Bersama Chairil

Saya mula mengenali sosok Chairil Anwar selepas menonton filem Ada Apa Dengan Cinta. Buku Aku tulisan Sjuman Djaya yang dibaca oleh Rangga (kemudian Cinta) menarik perhatian untuk saya mencari dan mengenal lebih akrab siapakah gerangan yang menghisap kretek pada muka hadapan buku.

Ya, saya yakin sebahagian penggemar sastera Indonesia dalam kalangan anak-anak muda Malaysia mempunyai sejarah perkenalan yang sama dengan sajak individualis Binatang Jalang ini.

Sajak Chairil istimewa kerana beliau membawa revolusi terhadap perkembangan puisi Melayu moden. Umar Junus (1970) menggariskan 5 bentuk perubahan yang dibawa oleh sajak-sajak Chairil:

  1. Perubahan dari puisi kata kepada puisi kalimat
  2. Tugas baris dan bait dalam sebuah sajak
  3. Pemilihan kata-kata/diksi yang mengutamakan aspek erti berbanding aspek bunyi.
  4. Perulangan kata atau baris hanya jika benar-benar perlu
  5. Puisi lisan menjadi puisi tulisan

Mari kita lihat satu per satu kupasan tentang sajak-sajak Chairil Anwar.

1. Perubahan dari Puisi Kata kepada Puisi Kalimat

Puisi Kata adalah puisi yang menitikberatkan kata-kata. Suatu baris misalnya ditentukan oleh jumlah kata. Kalau sebuah bait mementingkan rima akhir baris, maka kata-kata harus dipilih supaya sesuai dengan rima tersebut (Umar Junus: 1970)

Lihat sajak Amir Hamzah ini sebagai contoh:

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela dimalam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Penggunaan kandil pada baris pertama menimbulkan aliterasi pada baris tersebut. Pertukaran diksi dari kandil kepada pelita pada baris kedua memberikan kesan lain, iaitu persamaan bunyi e-a antara pelita dan jendela.

Untuk memahami konsep Puisi Kalimat pula, sila baca sajak Di Tengah Sunyi oleh Rustam Effendi yang berikut:

Di tengah sunyi menderu rinduku
seperti topan. Merenggutkan dahan,
Mencabutkan akar, merenggutkan kembang kalbuku.

Lihat pula sajak Hampa karya Chairil Anwar ini:

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai kepuncak. Sepi memagut

Kedua-dua sajak Rustam dan Chairil mempunyai persamaan: Baris-baris yang mempunyai noktah di tengahnya, seolah-olah membawa maksud terdapat dua kalimat yang wujud dalam satu baris.

Baris “seperti topan. Merenggutkan dahan.” dalam sajak Rustam dapat dibaca dengan dua kalimat yang berbeza – (1) seperti topan dan (2) merenggutkan dahan. Begitu juga dengan kalimat “Lurus kaku pohonan. Tak bergerak” dalam sajak Chairil dapat dibaca seperti berikut – (1) Lurus kaku pohonan dan (2) Tak bergerak.

Ada persamaan sifat persajakan Chairil dengan Rustam. Mereka berdua menggunakan noktah untuk mengelakkan pengulangan ayat. Bagi Rustam, penggunaan noktah pada kalimat ini membawa maksud : “Di tengah sunyi menderu rindukan seperti topan. Rindu itu merenggutkan dahan, mencabutkan akar, merenggutkan kembang kalbuku.

Chairil juga meletakkan noktah pada baris sajak Hampa untuk menghindarkan perulangan. Perhatikan akibat pemakaian noktah pada baris pertama dan kedua sajak Hampa. Kalau tidak ada noktah pada baris pertama itu, maka baris tersebut harus dibaca sebagai:

Lurus kaku pohonan, tak bergerak.
Tak bergerak, sampai ke puncak.
Sampai ke puncak, sepi memagut

Dengan tak bergerak dan sampai ke puncak diulang pada baris seterusnya.

Sajak-sajak Chairil anti-pemborosan. Kesederhanaan menjadi ciri utama yang membezakan sajak-sajak Chairil dengan sajak-sajak penyair sebelumya. Hal ini bersesuaian dengan sifat Puisi Kalimat yang didasarkan kepada manipulasi struktut kalimat ketimbang kata-kata/diksi. Segala sesuatu tak perlu dinyatakan dengan jelas melalui kata-kata jika keadaannya boleh diterangkan dari kemungkinan hubungan kalimat-kalimat di dalam sebuah bait sajak (Umar Junus: 1970)

Contoh penggunaan noktah pada sajak Hampa yang diberikan tadi memungkinkan kita untuk memberi interpretasi/tafsiran seperti yang telah diterangkan.

Konsep Puisi Kalimat boleh difahami dengan lebih jelas jika pembaca pergi kepada penjelasan pada aspek perubahan kedua yang dibawa oleh sajak-sajak Chairil.

2. Tugas baris dan bait dalam sebuah sajak

Menurut Chairil, baris di dalam sesebuah sajak dianggap sebagai suatu unit yang berdiri dengan sendiri. Ia tidak perlu langsung dihubungkan dengan baris-baris lainnya. Hanya sewaktu proses interpretasi/tafsiran kita dapat lihat kemungkinan hubungan yang ada antara satu baris dengan baris lainnya. Lihat sajak Cintaku Jauh di Pulau ini:

Cintaku jauh di pulau
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

yang mengandungi maksud-maksud berikut:

  • Cintaku jauh di pulau
  • Cintaku adalah seorang gadis manis
  • Gadis manis itu sekarang iseng sendiri

Hanya dalam keadaan terpaksa Chairil merasa perlu memberikan hubungan jelas antara satu baris dengan baris sebelumnya, iaitu dalam keadaan jika tidak dijelaskan hubungannya, orang mungkin akan mengerti maksud yang lain. Chairil menggunakan perkataan yang pada sajak ini:

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas.

bertujuan untuk menghindarkan timbulnya maksud lain. Kalau digunakan kalimat “dimalam hilang batas” tanpa perkataan yang maka erti bait itu adalah “Kamar ini jadi sarang penghabisan dan di malam jadi hilang batas.” Sedangkan apa yang dimaksudkan oleh Chairil ialah “Kamar ini jadi sarang penghabisan dan di malam yang hilang batas.

Hal ini berbeza dengan sajak penyair lain yang melihat baris sebagai satu unit yang bersambung dengan baris sebelumnya. Perhatikan baris 2, 4, 6 dan 8 dari sajak Awan nukilan Sanusi Pane ini:

Awan datang melayang perlahan,

Serasa bermimpi, serasa berangan.
Bertambah lama, lupa didiri,
Bertambah halus, akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit bitu gemilang.
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teduh tenang.

Baris-baris 2, 4, 6 dan 8 dari sajak ini tidak mungkin ada kalau tidak ada baris 1, 3, 5 dan 7 kerana masing-masing hanya merupakan sambungan dari baris-baris sebelumnya. Tidak ada baris yang dapat dikatakan berdiri sendiri.

Begitu juga halnya dengan bait sajak. Bait bagi Chairil adalah satu unit yang berdiri sendiri juga. Tak ada bahagian dari sebuah bait yang dapat berhubung langsung dengan bait lain. Tetapi tidaklah bermaksud bahawa hubungan itu langsung tidak boleh diadakan (Umar Junus: 1970). Perhatikan sajak Tak Sepadan di bawah ini:

Aku kira
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.

Kedua bait ini boleh diertikan sebagai berikut:

  • Aku kira, beginilah nanti jadinya: Kau kawin, beranak dan berbahagia, sedang aku mengembara serupa Ahasveros, yang dikutuk sumpahi Eros
  • Aku kira, beginilah nanti jadinya: Kau kawin, beranak dan berbahagia
  • Aku serupa Ahasveros yang dikutuk-sumpahi Eros, aku merangkaki dinding buta, dengan tak satu juga pintu terbuka

Chairil dengan sengaja tidak mengakhiri bait pertama dengan sebarang tanda baca sedangkan bait kedua memang jelas diakhiri dengan noktah. Jadi kita bebas memahami sajak Chairil dari mana-mana sudut interpretasi.

Kesedaran yang ada pada Chairil tentang kemandirian baris dan bait telah menyebabkan sajak-sajak Chairil terasa lebih padat dan menarik dari kebanyakan sajak penyair-penyair sebelumnya.

3. Pemilihan kata-kata/diksi yang mengutamakan aspek erti berbanding aspek bunyi.

Penyair-penyair sebelum Chairil memandang kata dari aspek bunyi yang ada dalam kata itu. Sesebuah kata digunakan atau tidak digunakan berdasarkan nilai bunyinya. Sebaliknya Chairil lebih menitikberatkan aspek erti yang terkandung pada sebuah kata. Perkara ini dapat dilihat lewat sajak terkenalnya, Aku:

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri.

Tiada rima a-b-a-b seperti yang sering kita lihat dalam puisi-puisi tradisional; pantun, syair dan sebagainya.

4. Perulangan kata atau baris hanya jika benar-benar perlu

Perihal kepadatan sajak-sajak Chairil Anwar sudah diterangkan serba sedikit di atas. Perkara ini ada kaitannya dengan pendirian Chairil yang tidak mahu menggunakan pengulangan kata/diksi di dalam sajak beliau. Kalau ada pengulangan pun, maka pengulangan itu betul-betul mempunyai tugas yang khas dan fungsional di dalam sajak-sajak Chairil.

Bandingkan pengulangan yang ada di dalam sajak ini:

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak, Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi

…dengan sajak Ke Desa karya Aoh K. Hadimadja:

‘Rang kota.’
Pernahkah tuan pergi ke desa,
Menghirup bumi,
baru dicangkul menyegar rasa
Pernahkah tuan duduk di tengah ladang,
Dengan peladang bersenda gurau,
Menunggu jagung di dalam unggun,
Sebelum pacul kelak mengayun?
Pernahkah tuan tegak di tepi sawah,
Padi beriak menyibak sukma,
Pipit bercicit,
Riang haram bersusah?

Pengulangan kata menanti dalam sajak Chairil berguna untuk melukiskan betapa dalamnya dan peritnya menanti yang ada, sehingga penantian ini mampu merosakkan hidup manusia. Walaubagaimanapun, perkara yang sama tidak berlaku dalam sajak Aoh tadi. Pengulangan yang digunakan semata-mata untuk keperluan pengulangan sahaja. Pengulangan ini tidak memberikan sebarang perubahan erti dan estetika kepada kepadatan isi sajak itu.

5. Puisi lisan menjadi puisi tulisan

Sajak-sajak Chairil hanya dapat difahami setelah kita mengetahui keempat-empat bentuk perubahan yang beliau bawa di dalam perkembangan puisi moden Indonesia. Sajak-sajak beliau tidak akan dapat dimengerti sepenuhnya bila kita hanya mendengar orang membacanya. Kerana sajak-sajaknya tidak mementingkan permainan bunyi sepertimana puisi tradisional. Kita akan memahami dan menikmati sajak-sajak Chairil bila kita baca sendiri dari bentuk sebenarnya seperti sajak Hampa, Tidak Sepadan dan Aku

Kesimpulan

Walaupun Chairil Anwar pernah terpalit dengan isu plagiat sajak, seperti sajak Datang Dara Hilang Dara yang dikatakan hasil terjemahan sajak The Song of the Sea karya Hsu Cih Mo, kita tetap tidak boleh menafikan sumbangan beliau terhadap perkembangan puisi moden Indonesia.

 Chairil Anwar mahu merdeka, ingin hidup seribu tahun lagi tanpa menghamba kepada sesiapa. Semangat beliau tumpah ke dalam sajak-sajak yang tidak banyak bilangannya, tetapi menjadi permata yang sukar dicari ganti.

Nota penulis: Tulisan ini merupakan ringkasan terhadap bab khusus yang menceritakan tentang Chairil Anwar. Kredit sepenuhnya buat Umar Junus selaku penulis buku Perkembangan Puisi Melayu Moden (1970).

IMAN DANIAL HAKIM. Mantan Minggu Penulis Remaja 2017 ini aktif menulis puisi di Tukang Puisi & artikel di Mukasurat.my dan Jejak Tarbiah. Projek terbarunya adalah Barter Buku selain Akademi Berbagi Buku.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Media Sosial

Follow Bilik Penyair on WordPress.com