ada yang diam-diam menanggalkan
warnaku
dari sanggul malam, memasung deriaku dari
laung alam – kemudian melontarkan bauku
ke tebing sungai sana hingga para cacing
merasa tanah sedemikian hanyirnya. masih saja
tanah basah ini memberiku nafas, tapi mengapa
ada yang diam-diam melucutkan kembangku dari
lagu hujan, kemudian memaksaku membenamkan
diri ke dalam kemarau? mujur kelopakku telah
dirantai dan tidak bisa menjatuhkan dendam
dengan lirih debungaku yang telah lama tersula
apa lagi yang ingin kupandang selain
pandang-Nya
yang mesra itu?
Katarsis, 1993
Dewan Bahasa & Pustaka