akhirnya terpaku juga dia menyaksikan
semberaninya
diterbangkan ringkik angin ke purnama. masih
saja mata angin liar dari celah-celah urat daun
tamar oasis itu melenggangkan sayap petirnya.
hingga dini hari tenggelam oleh dengingan pasir
sang caravan tetap bernyanyi pedih padang datar
hutan pasir bukan lagi rimba saujana.
khemah malam
bukan lagi rumah batiniah. pelana kuda bukan lagi
mahkota cinta. jubah sutera bukan lagi baju rohaniah.
pedang kharsani bukan lagi penetak luka
luka telah menjadi barah. barah telah
menjadi nanah.
nanah telah menjadi darah. darah telah menjadi kata.
kata telah memakan seluruh barah, nanah dan darah
mulai saat pertama itulah dia tidak
putus-putus
memanggil semberaninya. hingga berabad-abad lamanya
jeritan perih itu tidak pernah usai menyayat jantung
purnama. matahari terpaku menyaksikan segalanya…
Katarsis, 1993
Dewan Bahasa & Pustaka